Sabtu, 13 Mei 2017

Terukir Kenangan Indah di Balik Cahaya Bintang

Di keheningan malam, aku dan saudara kembarku terpaku menatap indahnya langit malam yang dihiasi oleh cahaya bintang-bintang. Selalu sebelum tidur aku dan saudara kembarku yang bernama Lala menghabiskan waktu malam kami di taman rumah untuk membanggakan bintang kami masing-masing. Lala tidak pernah mau kalah untuk mendapatkan bintang yang paling terang walaupun kecil karena baginya walaupun bintang yang ia daparkan kecil ketika bersinar terang hal itulah yang mampu membuatnya merasakan kedamaian dan serasa berguna bagi banyak orang.
“Li, itu bintangku ya, cantikkan?,” tanya Lala padaku
“Cantikkan bintangku. Itu dia lebih besar daripada bintang kamu. Wek,” ejekku kepada kembaranku
“Tapi bintangkulah yang paling terang, ia bersinar terang hingga cahayanya mampu membuat bintang-bentang lain iri. Bintangku itu tak segan-segan untuk mengeluarkan cahayanya demi menerangi dunia ini, ia selalu menjadi bermanfaat untuk banyak orang. Hal itulah yang membuatku bahagia Li,” katanya kepadaku
“Iya deh iya, aku kalah. Bintangku bersat, tetapi dia tak bersinar terang seterang bintangmu,” kataku mengakui kekalahan
“Aku sayang banget sama kembaranku yang cantik ini karena selalu mengalah demi aku setiap kali kita menatap bintang dan saling membanggakan bintang kita masing-masing. Tetap di sini ya! Jangan tinggalin aku seperti apapun keadaannya! Aku sayang kamu,” kata Lala sambil memelukku dengan erat seakan takut kehilanganku
“Aku juga sayang sama kamu,” jawabku membalas pelukannya
            Hari pun semakin larut, aku dan Lala masuk ke rumah. Keesokan harinya, di saat aku terbangun, wajah yang pertama kaliku lihat adalah wajah saudara kembarku yang begitu masih polos walaupun kini kami berdua sudahlah kelas tiga SMA. Wajah yang aku lihat ini tidak seperti biasanya, wajah yang begitu pucat menurutku, dan ia masih nyaman tertidur yang biasanya selalu bangun lebih awal dari aku. Aku pun memegang keningnya, betapa panasnya. Aku benar-benar khawatir kepadanya.
“Mama, papa,” teriakku memanggil orang tuaku dengan rasa cemas
“Ada apa Li?,” tanya mama yang bergegas menyahut teriakan ku
“Lala, kenapa nak?,” tanya mama sambil membuka pintu kamar kami
“Lili, tidak tahu ma. Badannya panas dan wajahnya pucat,” kataku sambil menangis
“La, Lala, bangun sayang!”
“Iya ma,” jawabnya tiba-tiba seperti nada orang sakit
“Pa, bawa Lala ke rumah sakit. Hari ini dia tidak perlu ke sekolah!,” kataku
“Aku tidak kenapa-kenapa Lili. Tolong jangan khawatir! Ini juga akan sembuh tanpa harus ke rumah sakit,” katanya
“Sayang, kita ke rumah sakit ya? Ayo nak!”
“Tidak ma, hari ini aku mau ke sekolah. Ini sudah mendekati akhir SMA ku”
“Ya sudah ma, kalau Lala mau ke sekolah. Aku janji akan jaga dia! Kalau ada apa-apa aku langsung telpon mama atau papa,” kataku
“Tapi Li”
“Sudahlah ma, papa percaya sama mereka,” kata papa meyakinkan mama
“Ya sudahlah. La, kalau ada apa-apa langsung telpon mama ya”
“Baik mamaku sayang”
            Dengan kepercayaan papa dan mama, Lala dan aku segera bergegas beranjak dari tempat tidur dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Setelah selesai, tek seperti biasanya papa dan mama mengantar kami ke sekolah, mungkin karena takut terjadi apa-apa pada Lala.
            Pembelajaran dimulai, ku lihat kembaranku wajahnya semakin pucat dan terlihat begitu lemas tak berdaya. Perlahan demi perlahan, kepalanya terjatuh di atas meja. Aku yang begitu khawatir langsung berteriak, teriakanku mampu membuat teman-teman dan juga guru yang mengajar di depan memalingkan wajahnya ke arah aku dan kembaranku ini.
“Lala, bangun!,” teriakku meminta Lala untuk bangun
“Ada apa Li?,” tanya guru     
“Bu, si Lala tiba-tiba pingsan. Tolong bu!”
“Tenang-tenang La, jangan khawatir! Lebih baik kamu telpon orang tua kamu sekarang nak!,” perintah ibu guru yang membuatku melupakan untuk mengabari mama dan papa
            Aku segera menelpon mama, dengan keadaan aku yang masih khawatir karena keadaan Lala yang tak sadarkan diri di jam pelajaran seperti ini. Lima belas menit kemudian, mama telah datang. Aku dan yang lainnya sedang menjaga Lala di UKS. Karena paniknya mama langsung membawa Lala ke rumah sakit. Aku pun ikut dengan mama untuk memastikan keadaan Lala baik-baik saja tanpa ada penyakit di tubuhnya.
“Tuhan, aku mohon tetap lindungi Lalaku. Aku tidak ingin kehilangannya!,” kataku dalam hati ini
            Sesampai di rumah sakit, Lala langsung diperiksa oleh dokter. Setelah semalam di rumah sakit, akhirnya test pemeriksaan pun keluar. Papa dan Mama di panggil untuk menghadap dokter. Aku ingin ikut, tetapi mama menghalangiku, dengan alasan aku harus menjaga Lala. Namun, aku begitu penasaran. Hingga aku bertekad diam-diam menuju ruang dokter yang sudah ada mama dan papa di dalamnya.
“Maafkan, Lili ya pa, ma! Aku begini karena aku sayang sama kalian semua,” kataku dalam hati
            Dokter pun mulai membuka map yang telah berisi hasil test kembaranku Lala, test yang bisa saja membuat ku bahagia jika tidak ada penyakit ditubuhnya, dan membuatku down jika kutahu ada penyakit yang ia derita.
“Pak, bu, sebenarnya berat sekali untuk memberitahukan tentang hasil test anak bapak dan ibu, tetapi ini harus di sampaikan. Seberat apapun dan serumit apapun hal ini, saya harap kalian tetap tegar, kalau anak kalian mengidap penyakit Leukimia yang hampir memasuki stadium akhir,” jelas dokter yang sebenarnya tak ingin membuat kesedihan
“Lala, tidak mungkin dok. Aku tahu kalau dokter pasti salah periksa, itu bukan hasil test adik saya,” kataku yang membuat mama dan papa terkejut melihatku telah ada di sana
 “Li,” kata mama yang langsung memeluk erat tubuhku
“Lala tidak mungkin terserang penyakit itu ma, pa. Dokter ini salah!,” kata ku menangis tersedu-sedu
            Papa dan mama menguatkanku agar Lala juga kuat menghadapi penyakitnya. Aku, papa, dan mama tidak boleh menunjukkan kesedihan kami di hadapan Lala karena hal itu juga mampu membuatnya bersedih. Aku harus kuat dan membuat Lala bahagia. Aku janji akan menemaninya hingga dia sembuh.
            Hari demi hari, penyakit yang diderita Lala semakin parah. Hingga hari itu membuatku meneteskan air mataku di hadapannya.
“Li, kenapa kamu sedih? Lalamu ini akan sembuh dan kita akan lihat bintang sama-sama lagi. Tetap semangat dong demi aku!,” katanya menguatkanku
“Iya adikku, kembaranku, dan juga sahabatku,” kataku menggenggam tangannya
Ia memang tak pernah tahu penyakit apa yang menyerangnya hingga membuatnya tak diizinkan pulang ke rumah dan bersekolah seperti aku. Namun, dia tetap bersemangat yang justru membuatku kalah semangatnya dari dia.
Di sekolah aku ditunjuk untuk pergi ke Singapure mengikuti cerdas cermat, jika aku menang maka aku akan dibiayai untuk melanjutkan pendidikanku ke Singapure. Aku menyesetujuinya tanpa memikirkan keadaan kembaranku yang masih terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit. Kabar bahagia ini ku beritahukan pada mama dan papa, kalau tiga hari lagi test ini akan dimulai sehingga esok aku harus pergi ke Singapure bersama wali kelasku. Papa dan mama sangat senang. Namun, di saat aku memberi tahukan hal ini kepada Lala, ia tak mengizinkan aku pergi.
“Aku mohon Li, jangan pergi tinggalkan aku!,” katanya sambil memegang tanganku
“La, aku pergi hanya 3 hari kok, begitu selesai lombanya aku janji langsung pulang untuk menemui kamu!,” kataku
“Tapi, untuk saat ini saja jangan tinggalin aku!,” katanya mengulangi perkataan sebelumnya
“Lalaku, ini kesampatan emas yang harus aku ambil dan tak boleh aku sia-siakan karena ini sekali seumur hidup, semantara kalau kebersamaan kita, di hari setelah aku pulang pun kita akan masih bertemu lagi”
“Ya sudah pergilah, kejar impianmu!”
“Terima kasih ya. Aku janji akan segera pulang dan menemui kamu”
            Keesokan harinya aku pun pergi, walaupun aku tahu Lala sangat enggan melepasku untuk pergi. Namun, ini demi impianku untuk membuatnya bahagia juga.  
            Aku telah sampai di Singapure tepat di Universitas kebanggaanku. Aku terlalaikan untuk menghubungi keluargaku kalau aku sudah sampai karena indahnya dan bahagianya hatiku berada di sini. Hingga keesokan harinya, mama menelponku dan menanyakkan kabarku serta memberikan semangat kepadaku untuk lomba besok. Setelah itu, aku meminta mama untuk memberikan ponselnya kepada Lala. Aku berbicara pada Lala.
“Hallo, Lala kesayangannya Lili”
“Hallo juga sayang. Semangat ya buat besok, semoga apa yang kamu impikan jadi kenyataan. Jangan lupa berdoa sertakan Allah untuk jalan hidupmu! Oh ya, coba kamu lihat keluar dan lihat bintang yang paling terang, karena di sana ada adikmu ini yang sedang tersenyum denganmu. Di saat kakakku ini, rindu sama aku. Lihat saja bintang yang paling terang dimanapun nanti kamu berada”
“Iya iya, tenang saja deh. Ini untuk terakhir kalinya aku dan kamu melihat bintang tidak lagi bersama. Besok setelah lomba, aku janji langsung pulang ke Indonesia, negara tercinta yang di dalamnya ada orang kuat dan hebat seperti kamu”
“Asallah. Ya sudah kamu tidur sana! Besok kesiangan lagi. Assalamualaikum”
“Baik bos. Waalaikum salam. Cepat sembuh ya!”
            Keesokan harinya pun, lomba dimulai. Aku tahu jantungku berdegup kencang, tetapi aku tak boleh mengecewakan mereka yang telah mengizinkanku dan memercayaiku untuk ikut serta dalam lomba ini. Pertanyaan demi pertanyaan pun, aku jawab dengan santai dan percaya diri yang ternyata jawabanku rata-rata benar. Pengumuman pun akan diberitahukan, aku sangat terkejut, namaku dipanggil sebagai pemenang juara ke-II dan diminta untuk maju ke atas panggung.
            Begitu selesai acara, aku langsung meminta pulang kepada wali kelasku. Ponsel pun aku matikan agar mama tidak menghubungi aku. Karena aku tahu pasti mama ingin tahu hasilnya, biarlah ini menjadi kejutan di saat nanti aku sampai ke Indonesia.
            Keesokan harinya aku telah sampai di Indonesia, sebelum ke rumah sakit aku diantar terlebih dahulu ke rumah. Sesampai di rumah, aku sangat kaget melihat telah adanya bendera kuning tepat di depan rumahku. Ku jatuhkan semua yang ada di tanganku dan berlari memasuki rumah yang telah ramai orang.
“Lala, bangun! Jangan tinggalkan aku! Aku sudah menepati janjiku untuk segera pulang. Aku menang La, lihat kakakmu ini dia sudah mendapatkan universitas impiannya. Aku mohon bangun aku ingin menikmati kebagaian ini sama kamu. Bangun adikku!” teriakku menangis
“Nak, sudah ya! Jangan seperti ini!,” kata mama
“Mengapa mama tidak langsung kabari aku?,” kataku memarahi mama
“Mama dan papa sudah berusaha menelpon kamu, tetapi ponsel kamu tidak aktif”
            Aku benar-benar menyesal karena telah mematikan ponselku, tetapi dengan alasan yang baik aku ingin membuat mereka bahagia. Namun, malah aku yang bersedih. Aku benar-benar menyesal. Mama pun memelukku dan memberikan surat dengan selembar kertas kepadaku.
“Ini dari Lala,” kata mama memberi surat dari Lala kepadaku
            Aku pun membaca surat itu di hatiku dengan disaksikan Lala yang sudah tak bernafas lagi dan telah pergi meninggalkanku dan yang lainnya untuk selamanya.
“Assalamualaikum kembaranku, maafkan aku yang pergi tanpa seizinmu. Ini yang aku takutkan sebelumnya kalau aku akan pergi untuk selamanya di saat tidak adanya kamu di sampingku, menemaniku, dan menjagaku hingga detik terakhir aku bernafas di dunia ini. Tetapi waktu itu kamu memaksaku untuk memberikan izin kepadamu demi meraih impianmu. Aku juga yakin waktu itu masih ada pertemuan diantara kita setelah kamu pulang dari Singapure, iya kita masih bertemu, tetapi dengan aku yang sudah tak bisa memegang tanganmu, tertawa bersamamu, dan melihat bintang bersamamu lagi. Dan kamu salah besar jika waktu itu di telpon kamu berkata kalau itu adalah hal terakhir kalinya aku dan kamu melihat bintang dalam keadaan tidak bersama, justru itu terakhir kalinya kamu mendengar suara aku yang di saksiakan oleh jutaan bintang di langit, terakhir kalinya kita melihat bintang masih di bawah langit yang sama meskipun dengan negara yang berbeda. Kalau kamu mulai merindukanku lihatlah keluar, selalu ada bintang yang bersinar terang untuk kamu. Ingat itu punyaku, adikmu! Ia akan tersenyum melihatmu jika kamu juga tersenyum untuknya, dan jangan bersedih karena ia juga akan bersedih! Dan  tangannya takkan sanggup meraih pipimu untuk menghapus air mata yang jatuh. Aku menyayangimu karena Allah. Ikhlaskan aku untuk pergi! Tetap selalu banggai papa dan mama karena harapan mereka ada pada kamu kembaranku. Putri mereka tinggal satu, jangan kecewakan mereka! Kuatkan mereka dan yakinkan mereka kalau aku akan bahagia jika melihat mereka bahagia di dunia! Dari kembaran, adik sekaligus sahabat suka dukamu,” isi surat itu
            Aku pun meneteskan air mataku di hadapannya, meskiku tahu ia takkan suka jika melihatku menangis. Aku memeluknya dengan erat dan dengan harapan kalau dia akan membalas pelukan ini dan menghapus air mata duka ini. Aku tidak boleh berlarut dalam kesedihan karena hidup akan terus berjalan dengan semestinya meskipun tanpa Lala di sini aku harus tetap kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar